Pernahkan bicara dengan seseorang yang memiliki keyakinan yang salah dan benar-benar tidak bisa dibantah? Bisa jadi, keyakinan tersebut adalah bentuk dari delusi.
Delusi atau waham adalah keyakinan terhadap sesuatu hal yang salah dan tidak bisa dipatahkan walau sudah dibantah dengan data dan logika yang benar. Suatu keyakinan dikatakan sebagai delusi jika keyakinan tersebut tidak sesuai dengan latar belakang budaya dan intelektual pengidap. Misalkan saja, orang Bali yang percaya akan adanya leak, belum tentu berdelusi. Atau, Einstein yang menyodorkan teori relativitas, bukanlah kondisi delusi. Orang awam yang tidak mengerti akan dasar teori relativitas sajalah yang mungkin akan mengatakan bahwa teori tersebut omong kosong.
Delusi berakar dari kepercayaan terhadap suatu hal. Kepercayaan tersebut berasal dari premis-premis atau data dan fakta, yang akhirnya membentuk silogisme atau kesimpulan. Kesalahan yang terjadi dalam delusi dapat terjadi karena kesalahan dalam premis-premis, silogisme, ataupun keduanya. Seseorang pengidap yang mengalami halusinasi suara yang mengancam akan membunuh pengidap tersebut, bisa jadi akan memiliki keyakinan bahwa ia benar-benar akan dibunuh. Dalam kondisi ini, pengidap tidak bisa membedakan halusinasi tersebut dengan realita yang sebenarnya. Karena, banyak pengidap halusinasi yang menyadari betul bahwa ia sedang mengalami halusinasi yang merupakan gejala psikiatri. Dalam kondisi tersebut, delusi akibat kesimpulan dari premis halusinasi, tidak terjadi.
Contoh lain di mana terjadi kesalahan pada silogisme, terjadi pada kondisi berikut. Pengidap delusi melihat petani yang berjalan di depannya sambil membawa sabit lalu berpikir bahwa ia akan dibunuh. Realitanya, petani tersebut benar-benar sedang membawa sabit. Tetapi, ia membawa sabit untuk mencari makanan ternak, bukan untuk membunuh pengidap delusi. Sekilas terdengar aneh. Tetapi, realita yang dihadapi secara subjektif oleh pengidap memang demikian adanya.
Kemudian, apakah yang membuat delusi dapat terjadi?
Dengan memandang manusia sebagai subjek yang terdiri dari aspek biologi – psikogis – sosial – kultural – spiritual, tentu saja perlu dijabarkan penyebab dari masing-masing variabel. Dari variabel biologis, manusia terbentuk dari badan fisik yang terdiri dari organ-organ. Salah satu dari organ tersebut, yaitu otak, mengalami masalah. Terjadi peningkatan dopamin di jaras mesolimbik – dari area ventral tegmental ke striatum ventral – yang membuat delusi.
Dari aspek psikologis dan sosial, bisa saja terjadi tekanan yang sangat besar dan tidak bisa ditangani oleh psikis pengidap. Hal tersebut membuat pengidap—salah satunya—
melakukan pertahanan diri yang salah dengan mundur menjadi “anak-anak” dan melakukan fantasi. Fantasi sebenarnya adalah hal yang lumrah dilakukan di fase pra-operasional (usia 2 sampai 7 tahun). Pada fase ini, anak-anak melakukan fantasi untuk menghubungkan beberapa data yang dimiliki dengan fantasi karena kognitif dari anak belum mampu untuk menggabungkan hal tersebut dengan logika yang terstruktur. Kondisi ini juga dilakukan anak untuk bertahan dari kenyataan yang “mengancamnya”. Tentu saja, rasa tenang yang instan di fase anak-anak ini adalah hal yang dicari oleh pengidap delusi dengan tidak disadari.Aspek kultural dan spiritual juga memiliki peran yang cukup penting. Manusia tumbuh dalam lingkungan kultural yang membangun pandangan subjektifnya terhadap sesuatu. Pandangan subjektif yang berujung pada pengalaman unik yang memengaruhi area “spiritual” dari pengidap, tentu saja akan mewarnai delusi yang terjadi.
Esai di atas merupakan bagian dari buku “Mencari Manusia dan Jiwa”en