Skip to content
Home » MENYALAHKAN DIRI? APA DAN BAGAIMANA ITU BISA TERJADI?

MENYALAHKAN DIRI? APA DAN BAGAIMANA ITU BISA TERJADI?

Pada tulisan sebelumnya, telah dibahas mengenai psikoterapi suportif yang menyasar kekuatan mekanisme pembelaan ego dari seseorang. Mekanisme pembelaan ego, atau cara seseorang mempertahankan kekuatan psikis akibat pertempuran antara harapan dan realita, tidak selalu matang. Terkadang seseorang memperlihatkan cara bertahan yang tidak matang dan akhirnya hanya akan menghancurkan diri dan lingkungan secara tidak disadari. Oleh karena itu, cara mendukung dengan psikoterapi suportif—seperti telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya—berfungsi untuk memperkuat mekanisme pertahanan ego yang matang serta meninggalkan yang tidak matang. Masalah dapat hadir ketika sang pemberi dukungan tidak memahami tipe-tipe cara bertahan yang matang ataupun yang tidak matang. Karena, alih – alih membaik, kondisi seseorang akan makin terpuruk saat mekanisme pembelaan ego yang tidak matanglah yang diperkuat oleh pemberi dukungan. Dari banyaknya cara bertahan yang tidak matang, pada tulisan ini akan dibahas mengenai kebiasaan menyalahkan diri sendiri yang merupakan contoh sering dari ketidakmatangan tersebut.

Menyalahkan diri, atau dalam bahasa psikiatri disebut dengan “introyeksi”, adalah tindakan yang dilakukan seseorang dengan menyalahkan dan menghukum diri sendiri saat realita tidak sesuai dengan harapan. Kondisi tersebut secara praktis akan membuat diri terpuruk karena beban yang menimpa akan berkali lipat. Masalah yang hadir saja sudah menjadi beban. Apalagi ditambah dengan menyalahkan dan menghukum diri sendiri atas timbulnya masalah tersebut?

Kebiasaan introyeksi tidak terjadi seketika. Terdapat faktor kebiasaan yang tertanam lama dan membentuk pola tersebut. Dalam hal ini, proses psikodinamika sejak seseorang lahir hingga usia sekarang adalah salah satu kuncinya.

Introyeksi adalah proses adaptasi terhadap tekanan yang didapatkan dari luar diri seseorang. Sayangnya, adaptasi tersebut berbentuk patologis dan tidak sehat. Pada proses terjadinya introyeksi, seseorang akan melakukan duplikasi terhadap tekanan dari luar diri kemudian ialah yang pada akhirnya menggantikan fungsi tekanan dari luar diri tersebut. Dan akhirnya, seseorang akan menghukum dirinya sendiri.

Contoh praktis dari hal ini adalah tekanan dari orang tua yang mengharuskan seorang anak untuk berprestasi di sekolah. Jika tidak berprestasi, maka orang tua akan memarahi sang anak. Pada perjalanannya, anak akan menduplikasi tekanan tersebut dengan menjadikan dirinya juga bersifat keras kepada diri sendiri. Saat sang anak tidak mendapatkan prestasi, maka ia akan menyalahkan dan menghukum dirinya sendiri. Posisi menekan diri anak yang awalnya dilakukan oleh ibu, digantikan oleh sang anak dan dilakukan kepada dirinya sendiri. Pada titik tersebut, sang anak tidak dapat membedakan apakah kemarahan yang dia lakukan ke diri sendiri murni datang dari dirinya atau ia tiru dari kebiasaan orang tua yang selalu menekannya. Dalam hal ini, duplikasi terhadap tekanan dari luar yang kemudian dirasa datang dari diri sendiri, adalah proses evolusi dari mekanisme pembelaan ego introyeksi.

Apakah introyeksi ini baik? Tentu saja, sesuai alur logika yang telah disampaikan, cara bertahan introyeksi justru akan menjatuhkan diri ke keadaan yang makin terpuruk. Bahkan, dalam teori psikodinamika terjadinya depresi, introyeksi adalah langkah yang akan dilalui seseorang untuk menuju kondisi depresi klinis. Perasaan diri yang tidak berharga karena menyalahkan diri sendiri—seperti yang sering terjadi pada keadaan depresi klinis—adalah akibat dari pola introyeksi tersebut.

Tulisan di atas merupakan bagian dari buku yang berjudul “Mencari Manusia dan Jiwa”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *