Dalam ilmu psikiatri, cara memandang manusia dengan holistik adalah hal yang utama. Tapi, apakah holistik itu?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), holistik bermakna cara memandang manusia sebagai satu kesatuan bio-psiko-sosial-kultural. Biologi, psikologi, sosial, dan kultural memang tidak bisa dipisahkan dalam memandang manusia. Manusia memang bukan mesin yang identik satu sama lainnya. Dalam hal biologi (organ fisik) pun, manusia selalu memiliki keunikan. Apalagi dalam hal psikis, latar belakang sosial, dan kultural. Jika dilihat secara terpisah saja, kondisi tersebut akan sangat berbeda antar satu manusia dengan manusia lainnya. Apalagi jika dipandang sebagai satu kesatuan?
Pemisahan atas aspek-aspek tersebut memang tidak bisa terjadi. Satu sama lain saling terkait. Biologi memengaruhi psikis dan juga cara pandang terhadap sosial dan kultural. Begitu pula sebaliknya. Kembali lagi, harapan dari pemahaman menyeluruh tersebut adalah memandang manusia sebagai objek yang unik dan tidak bisa disamakan dengan manusia lainnya.
Lalu, apakah tujuan dari memandang manusia sebagai objek yang unik sudah benar-benar tercapai? Jika sudah, apakah ukuran dari keberhasilan tersebut?
Sikap holistik sepertinya tidak bisa didekati dengan parameter yang dapat terukur dengan angka. Pendekatan tersebut lebih tepat dilakukan dengan parameter kualitas. Kualitas yang dirasakan secara subjektif oleh manusia yang berbeda antara satu manusia dengan manusia lainnya.
Nah, jika ukurannya adalah kualitas, bagaimana cara untuk memenuhi standar tersebut?
Yang bisa dilakukan adalah mencoba memanusiakan manusia dengan cara menempatkannya sebagai pemeran utama dalam menjalani kehidupan pribadi. Karena sudut pandang, tanggapan, dan tindakan yang dilakukan terhadap realita yang terjadi pada tiap manusia merupakan hal yang benar-benar subjektif.
Kemudian, bagaimana cara memahami cara pandang subjektif tersebut?
Mencoba menempatkan diri pada posisi manusia lain tentu saja merupakan hal yang sudah umum dikatakan. Tetapi, apakah tindakan tersebut benar -benar dapat dilakukan? Kita sebagai penanggap, tentu saja memiliki pengalaman dan sudut pandang yang dibawa sebelum menghadapi manusia lain. Oleh karena itu, jangan-jangan, yang dilakukan oleh kita bukan menempatkan diri sebagai manusia lain? Jangan-jangan, saat kita merasa “sudah paham benar” terhadap kondisi manusia di depan kita, ternyata kita hanya berenang-renang di kubangan pengalaman masa lalu dan sudut pandang subjektif kita yang sudah terbentuk sebelum bertemu orang tersebut?
Lalu, bagaimana?
Awalnya, Schleiermacher dengan hermeneutika romantiknya, mengatakan perlunya dilakukan pemahaman terhadap pengalaman subjektif manusia lain dengan benar-benar merasakan pengalaman tersebut. Dengan kata lain, menempatkan diri di sepatu manusia lain dan melihat sudut pandang dari sisi itu. Tetapi, hal tersebut disanggah oleh Dilthey. Ia mengatakan bahwa merasakan pengalaman manusia lain dari sisi manusia tersebut adalah hal yang tidak mungkin dilakukan. Manusia yang mencoba merasakan pengalaman subjektif manusia lain sebenarnya sedang berenang-renang di kubangan pengalaman subjektifnya sendiri. Karena, pengalaman individu adalah hak tunggal dari individu itu sendiri dan tidak mampu untuk terwakili oleh orang lain. Singkat kata, meraba-rasakan pengalaman orang lain adalah hal yang mustahil. Lalu, Dilthey menawarkan konsep ‘interpretasi’ sebagai solusi dalam memahami pengalaman subjektif manusia lain.Interpretasi di sini adalah dengan menangkap dan memaknai simbol-simbol yang disampaikan kemudian menguji keabsahan dari interpretasi terhadap simbol-simbol tersebut. Simbol-simbol di sini dapat berbentuk ujaran verbal atau non-verbal. Interpretasi terhadap simbol-simbol kemudian divalidasi dengan melakukan pertanyaan atau pernyataan yang dilempar kembali ke orang di depan kita. Saat orang tersebut tidak setuju dengan asumsi awal kita, sejatinya kita tidak boleh memaksakan asumsi tersebut.
tulisan di atas merupakan bagian dari buku yang berjudul “Mencari Manusia dan Jiwa”