Skip to content
Home » Berteman dengan Kecemasan

Berteman dengan Kecemasan

Kecemasan adalah reaksi alami yang dapat terjadi pada semua orang. Menjadi alami karena kecemasan awalnya dikeluarkan oleh individu untuk berjaga-jaga agar dapat mempertahankan hidupnya; menjadi wajar karena kecemasan yang muncul—dalam batasan normal—akan membuat seseorang lebih fokus, bertindak cepat, dan memiliki psikomoto—respons gerak—yang lebih cepat dari kondisi normal. Berbagai kondisi tersebut tidak lepas dari unsur biologi di otak: aktivasi locus cereolus yang menyebabkan peningkatan produksi epinefrin dan aktivasi korteks akibat peningkatan dopamin yang berujung pada peningkatan kecepatan berpikir, keterjagaan, kemantapan fokus, dan meningkatnya psikomotor; aktivasi periaquaductal grey yang menghasilkan respons motorik yang berelasi dengan kecepatan dalam memutuskan untuk menantang bahaya atau melarikan diri; jaras hipotalamus – pituitari – adrenal yang aktif sehingga respons otonom meningkat.

Jika dilihat dari akar evolusi, kecemasan yang terjadi—bersifat melindungi diri—tentu saja adalah hal yang positif. Walaupun demikian, sering kali tujuan tersebut berakhir dengan efek yang berkebalikan: mengancam diri manusia itu sendiri. Kecemasan yang terlalu tinggi akan membuat manusia tidak dapat berpikir dengan rasional karena kecepatan berpikir yang teramat kencang sehingga fokus seketika lompat-lompat ke berbagai objek lainnya saat objek yang awalnya hendak diselesaikan belum rampung dan tuntas. Hal negatif yang dirasakan semakin bertambah karena perasaan cemas dan peningkatan respons tubuh terjadi pada saat tidak adanya ancaman: tubuh dan mental yang terus dipacu di saat tidak diperlukan tentu saja akan membuat “kelelahan”.

Kelelahan mental dan fisik akibat reaksi alami tersebut tersebut tentu saja (kalau bisa) dihindari oleh manusia. Terdapat banyak cara yang sudah sering dipakai untuk menghindari kecemasan: mendinginkan aktivasi otak dengan obat psikiatri dan melakukan intervensi psikoterapi. Menurut penelitian yang ada hingga saat ini, intervensi terbaik adalah kombinasi pendinginan otak dengan obat dan dibarengi dengan psikoterapi. Dalam konteks ini, intervensi obat tentu saja tidak bisa dilakukan sendiri dan perlu dilakukan di bawah pengawasan ketat oleh psikiater.

Berbeda dengan terapi obat, intervensi psikoterapi lebih bebas dan terbuka sehingga beberapa teknik sederhana dari psikoterapi dapat dilakukan oleh awam. Pada gangguan kecemasan, intervensi psikoterapi yang umum dilakukan adalah fokus pada kekinian dengan melakukan intervensi kognitif dan perilaku. Intervensi kognitif bekerja dengan menganalisis alasan kecemasan yang tidak masuk akal, sedangkan intervensi perilaku—

Umumnya—dilakukan dengan memaparkan diri pada situasi yang mencetuskan kecemasan agar pada akhirnya tercipta resistensi terhadap pencetus tersebut. Teknik ini memiliki pola logika “melawan kecemasan” sehingga diri menjadi resisten terhadap kecemasan yang mengancam.Teknik psikoterapi lain yang sering digunakan adalah dengan metode “rekonstruktif”–contohnya psikoterapi psikoanalisis dan psikodinamik–yang dilakukan dengan mencari penyebab kecemasan yang bersumber dari  trauma masa di alam nirsadar–berakar dari logika bahwa trauma masa lalu akan diam di alam nirsadar. Lapisan penutup alam nirsadar yang bermasalah dalam perjalanannya akan terbuka satu persatu saat sesi psikoterapi rekonstruktif dilakukan. Selain menggunakan psikoterapi rekonstruktif, lapisan tersebut juga dapat terbuka secara apa adanya saat seseorang melakukan mindfulness. Pada akhirnya, trauma masa lalu yang didapati akan menuntut untuk diterima dan dijadikan bagian dari perkembangan diri yang sejatinya tidak sempurna: berujung perdamaian dan menjadikannya sebagai bagian sejarah perkembangan diri yang membentuk kondisi di saat ini.

Esai ini merupakan bagian dari buku berjudul “Mencari Manusia dan Jiwa”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *