Skip to content
Home » Remaja dan Pencarian Jati Diri

Remaja dan Pencarian Jati Diri

Remaja yang mengendarai motor dengan ugal-ugalan sering kali terlihat di jalanan. Bagi pengguna jalan yang memiliki hak yang sama, perilaku tersebut terkadang tampak menyebalkan. Sikap untuk berhati-hati di jalan dengan harapan tidak akan mengalami kecelakaan kadang tidak berarti karena orang lainlah—seperti pengendara motor lain yang ugal-ugalan—yang akhirnya menyebabkan kecelakaan. Jika diamati dengan seksama, tidak hanya cara berkendara saja yang sering dikeluhkan pada remaja. Perkelahian antara kelompok remaja dan bahkan perilaku kriminal lainnya adalah contoh lain yang beberapa kali terdengar di media masa. Lalu, apakah penyebab perilaku negatif dari para remaja tersebut? Ada banyak sekali kemungkinan yang dapat menjadi penyebabnya. Selain dari adanya penyebab patologis–seperti gangguan tingkah laku, salah satu kemungkinan yang dapat dipakai adalah fase pencarian jati diri yang sedang terjadi.

            Dengan berdasarkan pada teori perkembangan psikososial Erik H. Erickson, remaja–berkisar antara umur 12 sampai 20 tahun–berada pada fase pencarian identitas diri dan perannya di masyarakat. Pencarian ini tidak semudah membalikan telapak tangan. Remaja perlu “bersaing” di lingkungan seusianya untuk membuktikan keunggulan dirinya. Hal itu tampak mudah bagi remaja yang mampu untuk bersaing di lingkungan kesehariannya—salah satunya di sekolah—dengan menjadi juara kelas, aktif di organisasi, memiliki keunggulan dalam bermusik atau ekstrakulikuler lainnya. Tetapi akan sangat sukar bagi remaja yang “terpinggirkan” di lingkungan tersebut. Beberapa remaja akan tetap mencoba jalan lain yang masih berkaitan dengan keseharian terdekatnya—di sekolah—dengan cara berpenampilan modis, menjadi orang populer, maupun menggunakan harta yang dimiliki untuk dapat tetap “tampil”.

            Contoh yang telah dijabarkan di lingkungan sekolah tersebut adalah gambaran bagi para “pemenang” di lingkungan sekolah. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang “kalah”. Saat pencarian peran dan pengakuan di lingkungan terdekat gagal, maka pencarian akan tetap dilakukan: di lingkungan lain atau dengan perilaku yang “berbeda dan negatif”. Mencari pengakuan di geng remaja yang bersifat negatif; minum alkohol, kebut-kebutan di jalan, dan perkelahian; atau perilaku bolos sekolah adalah beberapa dari sekian banyak contoh negatif untuk mencari pengakuan.

            Dari sisi pandang ini, remaja sebenarnya sedang berproses untuk mencari jati diri. Pencarian jati diri sejatinya bermakna kurangnya rasa diakui dan percaya diri sebagai penyebab utama. Hal ini dapat dibuktikan pada beberapa remaja—yang tampak hebat dengan kebut-kebutan di jalan atau berpenampilan modis—yang tidak berani menatap mata saat diajak bicara dengan penjaga toko atau pelayan di tempat makan. Sering kali mereka hanya “cengengesan” saat ditanyakan ingin membeli apa. Tampilan luar yang penuh percaya diri pun seringkali bertolak belakang dengan nada dan gaya bicara yang tidak percaya diri saat berkomunikasi dengan orang lain yang tidak dikenal. Kepercayaan diri yang rendah ternyata bertolak belakang dengan tampilan luar.            Masih menggunakan kaca mata yang sama, pencarian ini sebaiknya diwadahi dengan baik. Memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya tiap manusia tidak sedang bersaing dengan manusia lainnya sangat perlu untuk ditekankan. Karena sejatinya tiap manusia itu unik dan tidak bisa disamakan. Fokus pada kekurangan tanpa mau mengakui keunikan diri yang positif yang berbeda dengan standar lingkungan adalah sumber masalah. Lebih jauh lagi, menjadi diri sendiri adalah prestasi yang sesungguhnya.

Esai di atas merupakan bagian dari buku “Mencari Manusia dan Jiwa”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *