Skip to content
Home » Terbiasa dengan Stigma

Terbiasa dengan Stigma

Manusia sungguh unik. Memiliki subjektivitas yang tidak bisa disamakan satu dengan manusia lainnya. Walaupun demikian, kumpulan manusia yang saling berinteraksi satu sama lain seringkali menggunakan parameter masing-masing untuk dipaksakan pada manusia lainnya. Dalam kasus ini, tentu saja terjadi benturan antara satu manusia dengan manusia lainnya. Lambat laun, terjadilah kesepakatan di antara kumpulan tersebut mengenai mana yang baik dan yang buruk. Setidaknya hal ini tercermin dari adanya standar manusia “normal” yang disepakati bersama.

Apakah batasan hingga manusia masih bisa disebut “normal”?

Terdapat banyak jawaban untuk pertanyaan tersebut. Dari semua jawaban yang ada, jawaban yang paling sering digunakan adalah ciri umum yang ada pada sebagian besar populasi dari manusia itu sendiri. Hal tersebut bisa saja adalah cara termudah. Walau demikian, cara itu banyak memiliki kelemahan. Sebagai analogi, jika di dalam sebuah kapal yang berada di tengah laut terdapat lima manusia, kemudian empat dari lima manusia tersebut memiliki delusi, sedangkan satu orang baik-baik saja, siapakah yang normal? Jika menggunakan parameter ciri umum dan statistik, tentu saja, delusi adalah hal yang normal. Lebih jauh lagi, penggunaan standar umum untuk mendefinisikan manusia adalah tindakan menutup mata pada kenyataan bahwa manusia sebenarnya adalah subjek yang unik dan tidak bisa disamakan dengan manusia lainnya. Dua orang manusia yang menghadapi masalah yang sama dan di waktu yang sama, tentu saja akan melakukan respon yang berbeda. Manusia—sekali lagi—bukan mesin produksi pabrik yang identik satu sama lainnya.

Dari sudut pandang tersebut, akhirnya muncul masalah lain

Anggapan normal karena memiliki ciri yang sama dengan sebagian besar populasi sering kali membentuk pandangan negatif terhadap manusia lain yang berciri di luar ciri populasi tersebut. Walaupun kampanye untuk menghentikan stigma telah dilakukan sejak lama, nyatanya, stigma tetap terjadi. Perang terhadap stigma dengan dasar bahwa manusia–apapun keadaannya–wajib diperlakukan dengan manusiawi tetap mengalami kendala. Hal tersebut bisa saja terjadi karena stigma sudah mengakar dalam waktu yang sangat lama. Stigma yang memiliki akar yang kuat pada akhirnya membuat tindakan negatif tersebut sangat terbiasa dilakukan di kehidupan sehari-hari hingga—parahnya—tidak disadari oleh manusia yang melakukannya. Contoh tersering—dan juga dijadikan objek industrialisasi—adalah penonton dengan mudah tertawa saat ada pelawak yang berpura-pura berbicara gagap atau tuli (bolot). Ya, penonton pastinya tertawa karena mereka tidak mengalami gagap ataupun tuli. Itu tidak terjadi pada mereka. Atau, hal yang lebih sederhana, adalah umpatan “idiot”, “bodoh”, atau “gila”. Itu adalah umpatan yang wajar diucapkan saat seseorang kesal. Sadarkah bahwa umpatan tersebut adalah tindakan dari stigma yang sudah membudaya? Hingga akhirnya tidak disadari keberadaannya? Padahal, stigma benar-benar ada di depan mata?

Contoh lain adalah sebutan “orang gila” yang umum digunakan pada orang dengan skizofrenia. Bagi kebanyakan masyarakat, sebutan tersebut adalah normal dan bukanlah sebuah penghinaan. Tapi, pernahkah memandang dari sisi penyintas skizofrenia? Bagaimana jika yang mengatakan “orang gila” itu tahu rasanya menjadi penyintas skizofrenia? Apakah mungkin, secara sadar atau tidak, manusia terbiasa merasa paling hebat dan normal sehingga berhak untuk memandang rendah manusia lain yang berbeda dan lebih tidak beruntung?

Esai di atas merupakan bagian dari buku “Mencari Manusia dan Jiwa”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!