Skip to content
Home » Bipolar, Neuroplastisitas, dan Obat

Bipolar, Neuroplastisitas, dan Obat

  • by

Seperti telah banyak diketahui, bipolar adalah gangguan mental bercirikan perasaan yang labil dan muncul secara bergantian: sedih sampai tingkat depresi dan senang sampai tingkat mania. Tidak semua perasaan yang sedih merupakan depresi. Sedih yang tergolong depresi perlu dilengkapi dengan tambahan gejala utama seperti malas melakukan tindakan yang menyenangkan dan menurunnya tenaga sehingga aktivitas sehari-hari menjadi terganggu. Selain itu, ada gejala-gejala tambahan lain seperti nafsu makan menurun, berkurangnya kualitas tidur, merasa pesimis dan rendah diri, perasaan bersalah, pikiran akan masa depan yang suram, dan bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup. Semua gejala tersebut—paling tidak—terjadi dalam kurun waktu dua minggu. Seperti halnya perasaan sedih, perasaan senang pun demikian. 

Tidak semua perasaan senang adalah gejala dari mania. Perasaan senang yang merupakan gejala mania perlu memenuhi kriteria di mana terdapat senang yang ekstrem disertai energi yang meningkat, pikiran yang melompat-lompat, banyak bicara, ide-ide kebesaran yang terkadang sampai taraf delusi, berkurangnya kebutuhan tidur, mudah terdistraksi saat mengerjakan sesuatu, dan melakukan tindakan yang berisiko. Semua hal itu—paling tidak—terjadi dalam waktu satu minggu dan menyebabkan adanya efek terhadap kehidupan sehari – hari.

Sama halnya dengan kebanyakan gangguan mental, bipolar pun tidak terjadi begitu saja: perlu berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan perkembangan kehidupan mental dan pencetus yang bertemu dan berkolaborasi dalam menghasilkan gangguan ini. Masa kecil yang suram, dukungan orang terdekat di masa kecil yang kurang, atau ketidakmampuan dari seseorang dalam menjaga mentalnya saat masa pertumbuhan dalam beberapa contoh dari sekian banyak faktor risiko. Berbagai faktor risiko tersebut pada akhirnya bertemu dengan pencetus utama yang terkadang tidak disadari. Saat awal fase, seseorang akan mengalami depresi terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan mania. Mania terjadi karena manusia mencoba melakukan pertahanan mental dengan metode “reaksi formasi”. “Reaksi formasi” adalah melakukan reaksi yang berlawanan dengan kondisi mental yang terjadi: kesedihan dibalas dengan kesenangan; pikiran rendah diri dibalas dengan ide akan kemampuan diri melakukan sesuatu yang spektakuler—ide keberasaran; tenaga yang menurun dibalas dengan meningkatnya tenaga.

Depresi yang terjadi di masa pertumbuhan dan akhirnya dilengkapi dengan periode mania pada bipolar tentu saja mengubah sistem otak. Otak akan melakukan neuroplastisitas—kemampuan otak untuk regenerasi sel—akan membuat gejala bipolar akan bertahan walaupun tidak ada pencetus signifikan di masa kini: sedih atau sangat senang yang tiba-tiba muncul tanpa penyebab yang jelas; merasa bersalah dan malas beraktivitas walaupun tidak ada kendala pada lingkungan sekitar; merasa hampa dengan alasan yang tidak jelas. Stimulus buruk yang signifikan sudah terjadi di masa lalu dan meninggalkan luka pada area biologis otak sehingga otak memiliki pola permanen yang buruk dalam bekerja walaupun tidak ada stimulus signifikan di masa kini.            Kecenderungan pengaruh internal otak pada bipolar tentu saja memerlukan terapi yang menyasar pada sistem biologis otak itu sendiri. Setelah kondisi internal terkontrol, intervensi eksternal baru dapat dilakukan agar memeroleh hasil yang optimal. Terapi yang menyasar sistem biologis otak adalah obat-obatan, sedangkan intervensi eksternal adalah terapi perilaku, psikoterapi, dan terapi tambahan lainnya untuk melatih reaksi psikologis terhadap kondisi diri dan lingkungan di saat ini.

Esai ini adalah bagian dari buku “Mencari Manusia dan Jiwa”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *