Skip to content
Home » Fobia Sosial dan Percaya Diri

Fobia Sosial dan Percaya Diri

Fobia sosial adalah kecemasan saat berhadapan dengan kondisi sosial tertentu seperti berbicara di depan umum, berada dalam sebuah pesta, atau berada dalam sebuah kelompok tertentu. Diagnosa dari fobia sosial sangat mirip dengan agorafobia. Pada agorafobia, ada kecemasan yang muncul saat seseroang berada di keramaian, di tempat umum, keluar dari rumah, atau bepergian sendiri—jika menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) setidaknya dua dari empat kondisi tersebut. Dari ranah definisi, fobia sosial berada dalam kondisi yang lebih sempit dibandingkan dengan agorafobia–karena hanya terbatas pada kondisi sosial tertentu saja.

Hal lain yang membedakan fobia sosial dengan agorafobia adalah terdapat kecenderungan akan ketakutan untuk menjadi pusat perhatian dan dinilai oleh orang lain pada fobia sosial. Perasaan takut untuk dinilai oleh orang lain tentu saja berkorelasi dengan rendahnya kepercayaan diri seseorang. Lalu, apakah yang membuat kepercayaan diri yang bermasalah itu muncul?

Akan ada banyak jawaban atas pertanyaan itu. Secara subjektif, jawaban dari kondisi tersebut akan berbeda untuk tiap orang yang mengalaminya. Walaupun demikian, mungkin teori perkembangan psikososial Erikson dapat digunakan untuk menelaah jawabannya.

Teori perkembangan psikososial Erikson menitikberatkan pada perkembangan mental manusia yang dipengaruhi benturan manusia dengan lingkungan sosialnya sejak kecil. Manusia menjalin hubungan dengan figur ibu sebagai lingkungan sosial pertamanya. Dengan beranjaknya usia—dua tahun sampai lima tahun—lingkungan akan makin melebar ke anggota keluarga lainnya seperti ayah dan semua orang yang ada di rumahnya. Keluarga yang protektif dan terlalu mengatur akan membuat seorang anak tidak berani mengambil risiko karena takut salah. Di fase ini, pembentukan kepercayaan diri dimulai. Selanjutnya, di masa usia lima tahun sampai 12 tahun, seorang anak akan masuk ke lingkungan yang lebih besar, yaitu sekolah dan lingkungan bermain seumurannya. Sedangkan, tahapan yang lebih krusial dan konkrit terjadi setelah masa itu, yaitu di fase usia 12 tahun sampai 20 tahun yang dicirikan dengan pencarian diri seorang remaja di antara kalangannya agar dapat dipandang. Menjadi bintang kelas, berkelompok dengan orang-orang populer di sekolah, atau hal lain yang terlihat keren adalah beberapa contoh dari perilaku tersebut.

Setiap fase perlu dilalui oleh seseorang agar mentalnya tetap utuh. Kendala pada tahapan tersebut–seperti perundungan oleh teman atau masalah internal keluarga yang membuat seorang anak merasa kurang percaya diri di hadapan lingkungannya—dapat berefek pada kepercayaan diri yang buruk di usia dewasa. Saat masalah kepercayaan diri yang terbentuk dari masa lalu bertemu dengan stresor signifikan di masa dewasa sebagai pemantik, tentu saja masalah mental—salah satunya–fobia sosial dapat terjadi.

Semua berawal dari keharusan untuk sempurna di mata orang lain. Keharusan itu menjadi dasar ketidakberanian seseorang berada di hadapan orang lain karena takut akan penilaian orang lain terhadap dirinya. Hal tersebut menjadi tidak sehat karena pada dasarnya penerimaan atas diri sewajarnya dilakukan oleh diri sendiri, bukan oleh orang lain. Kesalahan terjadi karena harus ada validasi dari orang lain agar seseorang yakin terhadap dirinya. Padahal, validasi orang lain tidak begitu diperlukan. Seseorang yang sudah yakin terhadap dirinya, secara tidak langsung akan membuat orang lain menaruh hormat kepadanya. Jika tidak mulai dari diri sendiri, dari mana harus memulai?

Esai di atas merupakan bagian dari buku “Mencari Manusia dan Jiwa”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!