Skip to content
Home » Ketenangan dan Analisis Terhadap Pikiran

Ketenangan dan Analisis Terhadap Pikiran

Analisis terhadap pikiran bukanlah suatu hal yang mudah. Terapi kognitif—dengan pertanyaan sokratik—yang menanyakan kembali alasan dari pikiran yang muncul, terkadang hanya mudah saat dibicarakan dalam ranah teoritis. Pada teknis dan praktisnya, cara ini terkadang “menakutkan” dan “mengancam”. Bagaimana tidak? Keyakinan awal yang dijadikan tumpuan mental, pada akhirnya dipertanyakan keabsahannya. Perlu mental yang kokoh menjalani teknis tersebut.

Di sisi yang bersamaan, “langsung percaya” adalah hal yang paling aman karena sikap tersebut serta-merta menutupi kemungkinan akan kesalahan yang dapat terjadi. Kemungkinan akan kekeliruan dapat tertutupi karena celah untuk mencari letak salah—dengan cara bertanya—tidak dilakukan. Cara manusia selama berabad-abad untuk menutupi kegelisahan akan sesuatu yang tidak/sukar memiliki jawaban adalah percaya dan yakin. Kembali lagi, bertanya hanyalah untuk yang “berani”. Keberanian bertanya hanya akan diganjar dengan “hukuman mati” seperti Socrates di masanya.

Jika menanyakan dan menyangkal keyakinan awal memerlukan keberanian, apakah terapi kognitif yang menitikberatkan pada kekritisan terhadap pikiran hanya bisa dilakukan pada manusia dengan mental yang sehat?

Jika memang hanya bisa dilakukan pada kondisi mental yang sehat, maka terapi kognitif tidak bisa digunakan pada manusia yang sedang menghadapi masalah. Terlebih lagi, cara ini tidak bisa disebut sebagai “terapi” jika memerlukan syarat seperti itu.

Di sini lain, kritis terhadap pikiran adalah “terapi” yang sudah banyak digunakan dan berhasil. Tentu saja, cara berpikir tersebut memerlukan kondisi yang tepat dalam pelaksanaannya. Kondisi yang tepat adalah pada saat keadaan mental relatif tenang dan stabil. Tidak perlu setenang saat benar-benar bebas dari masalah. Tidak berada pada titik mental yang ekstrem—senang, sedih, marah atau cemas berlebihan—merupakan kondisi yang sudah cukup untuk memulai analisis terhadap pikiran. Pada akhirnya, ketenangan yang lebih stabil akan terbentuk saat berjalannya tanya-jawab yang kritis terhadap pikiran.

Contoh praktis dari hal tersebut adalah perlunya menenangkan pasien yang sedang mengalami kepanikan akut dan sangat parah di IGD terlebih dahulu—dengan pemberian obat penenang ataupun terapi relaksasi—sebelum berdiskusi dan menyangkal rasionalitas dari kepanikan tersebut. Sangkalan ataupun diskusi mengenai kepanikan tidak akan berefek di kondisi tersebut. Tidak banyak kata-kata yang bisa dilakukan oleh terapis. Kata-kata yang bisa dilakukan oleh terapis pada saat itu hanya sebatas psikoterapi suportif berbentuk kalimat yang menenangkan: kalimat penjaminan yang memastikan bahwa kondisi pasien baik-baik saja; memastikan bahwa saat ini pasien berada di tempat yang aman; pasien pasti bisa melewati kepanikan ini.

Pola yang sama juga terjadi dalam menganalisis pikiran saat meditasi. Analisis pikiran yang meliputi sebab dari pikiran muncul, perasaan yang terkait dengan pikiran, respon dan postur tubuh yang terkait dengan pikiran, baru bergulir dengan baik saat ketenangan lebih dahulu tercapai. Langkah-langkah ini sejalan dengan awalan meditasi yang mirip dengan terapi relaksasi yang menenangkan: menarik dan menghembuskan napas dan tetap fokus pada napas yang keluar masuk.Seperti menunggu kopi panas yang baru saja diaduk. Sesaat setelah diaduk, perbedaan butiran kopi dan air tidak jelas terlihat: bercampur menjadi satu. Namun, setelah ditunggu beberapa waktu tanpa adanya intervensi, ampas kopi dan air yang hitam bening akan terpisah dan terlihat jelas dengan sendirinya.

Esai di atas merupakan bagian dari buku “Mencari Manusia dan Jiwa”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *