Pada bulan Mei 2025, ada teman sejawat yang menghubungi saya. Ia mengatakan hendak memasukkan nama saya sebagai salah satu kontributor presentasi ilmiah di konferensi psikiatri tingkat internasional di Jepang pada bulan September 2025. Tentu saja, saya menolaknya karena saya tidak secara langsung ikut serta dalam penulisan paparan ilmiah tersebut. Tetapi akhirnya saya menyetujui untuk dijadikan penumpang gelap. Saya setuju karena–katanya–judul dari paparan ilmiah tersebut terinspirasi dari diskusi yang sering kami lakukan perihal banyaknya kasus psikiatri yang mendasari tema dari paparan tersebut. Tema tersebut adalah: ketiadaan ayah dalam tumbuh kembang psikologis manusia.
Hilangnya ayah bukanlah ketiadaan sosok ayah secara fisik. Ini lebih kepada ketidakhadiran ayah secara mental. Seorang ayah bisa saja masih hidup dan tinggal serumah dengan anak yang sedang bertumbuh. Tetapi, tidak dengan kedekatan emosional yang sewajarnya juga mendampingi awal perjalanan manusia yang baru belajar menapaki dunia. Ketiadaan ayah secara emosional yang menyebabkan masalah mental yang begitu serius.
Tema dari paparan ilmiah yang akan dibawakan pada konferensi tersebut membuat saya mengingat kembali diskusi – diskusi yang sering kami lakukan di waktu senggang. Ingatan tersebut semakin menguat saat saya berbincang dengan pemilik warung kopi di Jimbaran yang buka di malam sampai dini hari. Warung yang tidak mempekerjakan pegawai karena suami-istri pemilik warung sudah cukup menangani semua. Warung kopi itu bernama: Rasa Kopi Tiam.
Saya sering mampir ke warung kopi itu. Paling tidak, dua sampai tiga kali seminggu saya datang hanya untuk memesan segelas teh tarik dan menghabiskan waktu untuk berbincang dengan pemilik warung. Datang hanya untuk menyesakkan ruang yang tidak begitu besar di mana masih banyak remaja usia kuliah yang memerlukan meja untuk menyantap makanan dengan jumlah konsumsi yang jauh lebih mahal dari pada segelas teh tarik. Datang sebagai benalu yang menambah kesibukan pemilik warung dengan mengajak berdiskusi hal – hal remeh, ekonomi, politik, sejarah, sampai filsafat. Serta mengamati interaksi pengunjung–yang sebagian besar adalah remaja–dengan pemilik warung. Kegiatan rutin yang membuat saya paham akan alasan warung menjadi selalu ramai.
Pemilik warung memiliki sesuatu yang dicari oleh para pengunjung yang kebanyakan berusia remaja. Tujuan utama bagi beberapa remaja yang datang–paling tidak, untuk yang pernah saya ajak ngobrol–tampaknya bukan untuk memesan makanan. Makanan hanya sambilan. Yang mereka cari adalah ayah yang hilang. Ayah yang pada akhirnya mereka temukan di warung mungil yang disesaki oleh para pencari ayah lainnya.
Cerita saya bisa jadi terlalu romantis dan dilebih – lebihkan. Mana ada ayah sungguhan di tempat itu? Tapi, mari saya jabarkan pengamatan ini menggunakan sudut pandang yang lebih serius.
Pemilik warung kopi itu adalah seorang pensiunan dari pekerjaan yang sangat besar dan ingin menikmati hidup dengan lambat bersama istrinya. Ia sering dipanggil “Om Ipam”. Berperawakan tinggi, agak kurus, rambut panjang ubanan terikat, serta memelihara kumis dan jenggot ubanan yang juga lebat. Selain itu, usia lima puluhan membuatnya harus selalu menggunakan kaca mata. Mungkin, jika Aristoteles berperawakan lebih kurus, berambut panjang terikat, dan berkaca mata dengan bingkai bulat, filsuf itu akan lebih mirip dengan pemilik warung kopi ini. Walaupun pemilik warung ini sering mengatakan bahwa dosennya di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dulu sangat menyerupai Aristoteles dari penampilan dan dialektika, saya lebih setuju bahwa pemilik warung inilah sang Aristoteles. Ia hanya berlagak seperti Plato yang menyanjung Socrates padahal Plato sendirilah Socrates itu.
Ada beberapa pelanggan yang pernah saya ajak ngobrol. Dalam beberapa obrolan tersebut, perilaku saya yang seharusnya tidak dilakukan di luar ranah profesi otomatis tetap muncul: membuat cerita muncul dengan sendirinya. Mungkin, karena keseharian saya lebih banyak dihabiskan di ruang praktik dan pengajaran sehingga kebiasaan mengalir apa adanya. Lawan bicara sering kali membuka masalahnya secara suka rela saat perbincangan berada di menit kelima tanpa mereka sadari. Mereka baru sadar saat perbincangan akan usai–di akhir obrolan mereka mengatakan jarang menceritakan kisah ayah kepada orang yang baru ditemui.
Dari beberapa remaja tersebut, terdapat pola yang sama. Mereka sama – sama tidak memiliki figur ayah. Baik karena figur ayah yang tidak bisa berkomunikasi, otoriter, atau tampak tidak peduli terhadap keberadaan anak. Figur ayah yang berfungsi sebagai fondasi mental bagi anak, hilang entah ke mana. Anak tumbuh dengan mental yang labil dan tidak jelas arah hidupnya. Apa lagi, saat ada masalah keseharian yang sebenarnya tidak begitu berarti. Kebimbangan dalam mencari jati diri–yang menurut Erikson memang wajar terjadi di usia remaja–menjadi semakin sukar untuk dijalani.
Ada banyak pendekatan teori yang bisa dilakukan untuk melihat fenomena pada para remaja tersebut. Misalkan saja, pendekatan Kohut dan Horney yang disandingkan dengan teori eksistensialisme yang memengaruhi seseorang dalam menentukan makna hidupnya secara mandiri, atau teori – teori kelekatan lain yang sejalan dengan perkembangan anak di bawah asuhan orang tua. Tetapi, berbagai teori yang melandasi fenomena tersebut tidak akan dijabarkan dengan detail di tulisan ini. Hal tersebut agar tulisan ini tidak mendahului presentasi teman sejawat saya di konferensi internasional di yang belum diselenggarakan.
Baik. Mari kita kembali ke warung kopi.
Kehampaan yang dirasakan oleh pengunjung remaja menjadi terisi di warung kopi. Diisi oleh pemilik warung yang selalu menyapa dan mengajak bicara semua pelanggan yang ada. Diawali dengan basa-basi ringan. Lalu, jika ada kesempatan, menyeret lawan bicara untuk berdialektika tanpa disadari. Dialektika yang menjunjung tinggi kesetaraan dan membuat remaja merasa dihargai oleh laki – laki yang jauh lebih tua. Kesan yang pada kebanyakan pelanggan setia tidak didapatkan dari ayah di rumah.
Pemilik warung kopi memosisikan diri sebagai teman bagi para remaja yang berusia jauh di bawahnya. Bukan karena itu saja. Sang pemilik secara tidak sadar tetap membawa aroma “orang tua” saat berdialektika dengan anak – anak itu. Posisi ego orang tua–jika menggunakan teori transaksional analisis menurut Eric Berne yang pernah ditulis dengan lebih lengkap di Id, Ego, Superego: Semua Orang Memainkan Peran–secara samar tetap muncul.
Peran orang tua yang demokratis dan otoriter muncul secara bergiliran dengan halus dan meneduhkan. Sikap demokratis, tentu saja, ditampakkan dengan gaya pemilik warung dalam berdiskusi dan bertukar pikiran. Tanpa menyalahkan karena setiap sudut pandang memiliki kebenaran dari sisi masing-masing. Walaupun sesekali, pemilik warung tetap menerapkan sikap otoriter yang subtil. Sikap otoriter di sini bukan bermakna negatif. Seperti tetap menaruh patok – patok norma ketimuran. Salah satunya adalah dilarang untuk berkata kasar di area warung. Atau, contoh yang lebih personal, melarang remaja – remaja itu membenci orang tuanya apa pun yang terjadi.
Sikap otoriter ini sempat saya utarakan ke pemilik warung di mana hal tersebut semakin memperjelas posisinya sebagai orang tua saat bicara dengan para remaja yang kehilangan arah. Walaupun akhirnya mengakui, awalnya ia menolak argumentasi saya karena memang tindakan tersebut sangat samar dan tidak disadari. Lagi pula, tindakan otoriter ini pula lah yang membuatnya semakin menjadi ayah yang dirindukan.
Beberapa pelanggan menganggapnya sebagai figur ayah yang melebihi ayah kandung mereka. Mereka lebih sering berkeluh kesah dan meminta saran kepada Aristoteles di warung Rasa Kopi Tiam. Kedekatan yang sewajarnya lebih banyak diberikan oleh orang tua mereka. Oleh ayah – ayah mereka. Kondisi yang membuat Rasa Kopi Tiam menjadi tempat teduh untuk bernaung para anak domba yang kehilangan arah. Bisa jadi, beberapa anak domba yang hilang itu adalah anak dari pembaca tulisan ini.