Skip to content
Home » Mereka Berhak Bicara, Anda Berhak Tutup Telinga

Mereka Berhak Bicara, Anda Berhak Tutup Telinga

Dalam sebuah sesi psikoterapi, seorang ibu menceritakan proses kehamilan ketiga. Kehamilan yang diwarnai dengan kecemasan. Kecemasan muncul akibat tekanan halus dari keluarga dan tetangga, dengan dalih doa dan harapan. Tekanan datang bertubi – tubi, di mana hal sama juga terjadi pada kehamilan pertama dan kedua. Tetapi, tekanan kali terasa lebih berat akibat trauma di kehamilan-kehamilan sebelumnya.

Pada kehamilan pertama dan kedua, anak lahir dalam kondisi berat badan yang sangat kecil. Hal tersebut terjadi karena usia kelahiran berada pada batas prematur. Di tambah lagi, banyak komplikasi yang menyertai lahirnya kedua anak tersebut. Apa lagi, kedua anak tersebut berkelamin perempuan. Sangat bertolak belakang dengan budaya Bali yang mengharapkan hadirnya anak laki – laki sebagai penerus keturunan.

Pada kehamilan ketiga ini, sejak kehamilan berusia 1 bulan, setiap orang yang ditemui sering mengingatkan agar ibu makan makanan yang bergizi. Tidak boleh pilih – pilih. Agar kondisi janin sehat dan tidak seperti kehamilan sebelumnya. Saran yang bertolak belakang dengan kondisi ibu yang sering mual saat makan sehingga hanya memiliki sedikit pilihan makanan agar tidak muntah. Mual dan muntah tentu di luar kontrol ibu. Lagi pula, jika bisa memilih, ibu mana, sih, yang ingin berada di kondisi seperti itu?

Di bulan – bulan berikutnya, orang yang ditemui di desanya sering menanyakan jenis kelamin dari bayi yang dikandungnya. Saat dijawab bahwa jenis kelamin belum bisa terlihat dari hasil USG, penanya tetap “perhatian” dengan menanyakan kapan kira – kira jenis kelamin dapat diketahui. Perhatian yang tampak wajar terjadi di lingkungan masyarakat dan sering membuat perasaan ibu semakin tertekan.

Tuntutan dari masyarakat sedikit demi sedikit mulai menemui solusi. Mual dan muntah mereda di bulan keempat kehamilan dengan sendirinya. Segala makanan bergizi pun dapat dengan mudah dikonsumsi sejak saat itu. Apa lagi, pada bulan ketujuh, hasil USG menyatakan bahwa kemungkinan besar anak ketiga itu berkelamin laki – laki. Berita bahagia yang mengobati kecemasan pelan – pelan.

Pada usia kehamilan delapan bulan, kecemasan muncul kembali. Hal yang disebabkan tekanan subtil berbentuk ucapan tetangga yang menyebutkan angka “3.500 gram” sebagai harapan akan berat bayi yang akan dilahirkam. Kecemasan dan kesedihan meledak di saat itu. Mendatangkan pertanyaan akan, “Kapankah ocehan orang lain akan berakhir?” dan, “Apakah semua ini belum cukup?”

Berdasarkan cerita tersebut, cara pandang seseorang dalam melihat sesuatu ternyata sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan yang sepakat bahwa hal yang “baik menurut norma” harus diikuti oleh individu yang berada di dalamnya. Begitu pula sebaliknya. Sesuatu yang oleh lingkungan dianggap buruk dan berpotensi membawa masalah juga akan diamini oleh sebagian besar individu di dalamnya. Sebuah kesepakatan komunal yang sering membawa kecemasan pada orang – orang yang berada di luar kurva normal. Seolah kehidupan manusia bisa dikerdilkan normalitas kurva statistik dan berbagai hal di luar kendali membuat kutukan tersendiri.

Jika dilihat dari cerita tersebut, akar dari kecemasan adalah tuntutan komunal yang secara halus tidak membiarkan adanya perbedaan. Bahkan, jika perbedaan tersebut di luar kendali. Perbedaan dianggap tabu karena tidak cocok dengan logika sebuah komunitas.

Karena, kebenaran memang ada jika logika komunal tersebut dilihat dari sudut pandang budaya. Saya pun tidak bisa membenarkan atau menyalahkan logika komunal tersebut. Saya hanya bisa berdiskusi mengenai objek kajian saya, yaitu ibu sebagai individu yang mengalami kecemasan. Ibu yang menjadi pasien di depan saya. Diskusi tersebut saya mulai dengan sebuah pertanyaan:

“Mau sampai kapan?”. Mau sampai kapan mengikuti tuntutan orang lain yang tidak akan ada habisnya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!